Rabu, 02 April 2014

Sejarah Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM)

Berdirinya Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) tidak lepas dari latar belakang berdirinya Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar sekaligus sebagai konsekuensi dari banyaknya sekolah yang merupakan amal usaha Muhammadiyah untuk membina dan mendidik kader.
Selain itu, situasi dan kondisi politik di Indonesia tahun 60-an yaitu pada masa berjayanya orde lama dan PKI, Muhammadiyah mendapat tantangan yang sangat berat untuk menegakkan dan menjalankan misinya. Oleh karena itu, IPM terpanggil untuk mendukung misi Muhammadiyah serta menjadi pelopor, pelangsung dan penyempurna perjuangan Muhammadiyah. Dengan demikian, kelahiran IPM mempunyai dua nilai strategis. Pertama, IPM sebagai aksentuator gerakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar di kalangan pelajar. Kedua, IPM sebagai lembaga kaderisasi Muhammadiyah yang dapat membawa misi Muhammadiyah pada masa mendatang.
Berdirinya Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) tidak lepas dari latar belakang berdirinya Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar sekaligus sebagai konsekuensi dari banyaknya sekolah yang merupakan amal usaha Muhammadiyah untuk membina dan mendidik kader. Selain itu, situasi dan kondisi politik di Indonesia tahun 60-an yaitu pada masa berjayanya orde lama dan PKI, Muhammadiyah mendapat tantangan yang sangat berat untuk menegakkan dan menjalankan misinya. Oleh karena itu, IPM terpanggil untuk mendukung misi Muhammadiyah serta menjadi pelopor, pelangsung dan penyempurna perjuangan Muhammadiyah. Dengan demikian, kelahiran IPM mempunyai dua nilai strategis. Pertama, IPM sebagai aksentuator gerakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar di kalangan pelajar. Kedua, IPM sebagai lembaga kaderisasi Muhammadiyah yang dapat membawa misi Muhammadiyah pada masa mendatang.
Keinginan dan upaya para pelajar untuk membentuk organisasi pelajar Muhammadiyah sebenarnya telah dirintis sejak tahun 1919. Akan tetapi selalu ada halangan dan rintangan dari berbagai pihak, sehingga baru mendapatkan titik terang ketika Konferensi Pemuda Muhammadiyah (PM) pada tahun 1958 di Garut. Organisasi pelajar Muhammadiyah akan ditempatkan di bawah pengawasan PM. Keputusan konferensi tersebut diperkuat pada Muktamar PM II yang berlangsung pada tanggal 24-28 Juli 1960 di Yogyakarta, yakni dengan memutuskan untuk
membentuk IPM (Keputusan II/ nomor 4).
Setelah ada kesepakatan antara Pimpinan Pusat (PP) PM dan Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan Pengajaran pada tanggal 15 Juni 1961, ditandatanganilah peraturan bersama tentang organisasi IPM. Pendirian IPM tersebut dimatangkan secara nasional pada Konferensi PM di Surakarta tanggal 18-20 Juli 1961. Sehingga pada tanggal 5 Shafar 1381 H bertepatan dengan tanggal 18 Juli 1961 M ditetapkan sebagai hari kelahiran IPM dengan Ketua Umum Herman Helmi Farid Ma’ruf dan Sekretaris Umum Muh. Wirsyam Hasan. Akhirnya, IPM menjadi salah satu organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah yang bergerak di bidang dakwah dan kaderisasi di kalangan pelajar Muhammadiyah.
Pada Konferensi Pimpinan Pusat (Konpiwil) IPM tahun 1992 di Yogyakarta, Menpora Akbar Tanjung secara implisit menyampaikan kebijakan pemerintah pada IPM untuk melakukan penyesuaian tubuh organisasi. PP IPM diminta Depdagri mengisi formulir direktori organisasi disertai catatan agar pada waktu pengembalian formulir tersebut nama IPM telah berubah. Tim eksistensi PP IPM yang bertugas membahas masalah ini, melakukan pembicaraan secara intensif. Akhirnya diputuskan perubahan nama Ikatan Pelajar Muhammadiyah menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), dengan pertimbangan:
  1. keberadaan pelajar sebagai kader persyarikatan, umat dan bangsa selama ini belum mendapat perhatian sepenuhnya dari persyarikatan Muhammadiyah;
  2. perlunya pengembangan jangkauan IPM;
  3. adanya kebijakan pemerintah RI tentang tidak diperbolehkannya penggunaan kata pelajar untuk organisasi berskala nasional.
Keputusan pergantian nama ini tertuang dalam Surat Keputusan (SK) PP IPM nomor VI/PP.IPM/1992 yang selanjutnya disahkan oleh PP Muhammadiyah tanggal 22 Jumadil Awwal 1413 H bertepatan dengan 18 November 1992 M tentang pergantian nama Ikatan Pelajar Muhammadiyah menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah. Dengan demikian secara resmi perubahan IPM menjadi IRM adalah sejak tanggal 18 November 1992.
Seiring perkembangan organisasi IRM, muncul berbagai reaksi dari tubuh persyarikatan bahwa IRM dinilai kurang fokus terhadap pembinaan  pelajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Maka, Tanwir Muhammadiyah tahun 2007 merekomendasikan IRM untuk berubah kembali menjadi IPM.
Pembahasan mengenai basis masa dan lokus gerakan sebenarnya sudah mengemuka sejak Muktamar IRM ke-14 di Lampung. Pada Muktamar IRM ke-15 pun, mengamanatkan untuk membentuk tim eksistensi yang bertugas untuk membahas masalah ini. Tim eksistensi PP IPM juga meminta saran pendapat dari PP Muhammadiyah dan ortom-ortom di dalamnya.
Muktamar XVI IPM di Surakarta, Dok. IPM Garut
Muktamar XVI IPM di Surakarta, Dok. IPM Garut
Tak lama kemudian, PP Muhammadiyah mengeluarkan SK nomor 60/KEP/I.0/B/2007 tertanggal 7 Jumadil Awwal 1428 H bertepatan dengan 24 Mei 2007 M tentang perubahan nomenklatur IRM menjadi IPM. Sehubungan dengan munculnya berbagai reaksi terkait SK tersebut, PP IPM segera mengadakan pleno diperluas dengan mengundang PP Muhammadiyah dan seluruh Pimpinan Pusat (PW) IPM se-Indonesia. Setelah berdialog secara intensif, PP Muhammadiyah mengeluarkan maklumat berkenaan dengan SK PP Muhammadiyah nomor 60/KEP/I.0/B/2007 bahwasanya perubahan IRM menjadi IPM membutuhkan proses. Maklumat ini berlaku efektif setelah Muktamar IRM XVI pada tanggal 23-28 Oktober 2008 di Surakarta.
Muktamar IPM pertama setelah perubahan dari IRM dilaksanakan pada tanggal 2-7 Juni 2010 di Bantul, DI. Yogyakarta. Muktamar kali ini bertepatan dengan setengah Abad Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Dalam Muktamar ini dilaunching Gerakan Pelajar Kreatif (GPK) yang merupakan turunan dari Gerakan Kritis Transformatif (GKT).
Sejarah perkembangan IPM, sejak dari kelahiran Ikatan Pelajar Muhamamdiyah (IPM) hingga kemudian terjadinya perubahan nama menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) pada tahun 1992 dan kemudian berubah nama kembali menjadi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) telah melalui proses yang panjang seiring dengan dinamika yang berkembang di masyarakat baik dalam skala nasional maupun global. Hingga saat ini IPM telah melampaui empat fase perkembangan, yaitu:
[accordions] [accordion title="1. Fase Pembentukan (mulai tahun 1961 s/d 1976)"] Kelahiran IPM bersamaan dengan masa dimana pertentangan idiologis menjadi gejala yang menonjol dalam kehidupan sosial dan politik di Indonesia dan dunia pada waktu itu. Keadaan yang demikian menyebabkan terjadinya polarisasi kekuatan tidak hanya dalam persaingan kekuasaan di lembaga pemerintah, bahkan juga dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam situasi seperti ini IPM lahir dan berproses membentuk dirinya. Maka sudah menjadi kewajaran bila pada saat awal keberadaannya IPM banyak terfokus pada upaya untuk mengkonsolidasikan dan menggalang kesatuan Pelajar Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia dalam wadah IPM. Upaya untuk menemukan karakter dan jati diri IPM sebagai gerakan kader dan dakwah banyak menjadi perhatian pada waktu itu. Upaya ini mulai dapat terwujud setelah IPM dapat merumuskan Khittah Perjuangan IPM, Identitas IPM, dan Pedoman Pengkaderan IPM (hasil Musyawarah Nasional/Muktamar ke-2 di Palembang tahun 1969). Fase pembentukan IPM diakhiri pada tahun 1976 yaitu dengan keberhasilan IPM merumuskan Sistem Pengkaderan IPM (SPI) hasil Seminar Tomang tahun 1976 di Jakarta. Dengan SPI yang telah dirumuskan tersebut, maka semakin terwujudlah bentuk struktur keorganisasian IPM secara lebih nyata sebagai organiasai kader dan dakwah yang otonom dari persyarikatan Muhammadiyah. [/accordion] [accordion title="2. Fase Penataan (mulai tahun 1976 s/d tahun 1992)"] IPM memasuki fase penataan ketika bangsa Indonesia tengah bersemangat mencanangkan pembangunan ekonomi sebagai panglima, dan memandang bahwa gegap gempita persaingan ideologi dan politik harus segera diakhiri jika bangsa Indonesia ingin memajukan dirinya. Situasi pada saat itu menghendaki adanya monoloyalitas dalam berbangsa dan bernegara dengan mengedepankan stabilitas nasional sebagai syarat pembangunan yang tidak bisa ditawar lagi. Dalam keadaan seperti ini menjadikan organisasi-organisasi yang berdiri sejak masa sebelum Orde Baru harus dapat menysuaikan diri. Salah satu kebijakan pemerintah yang kemudian berimbas bagi IPM adalah tentang ketentuan OSIS sebagai satu-satunya organisasi pelajar yang eksis di sekolah. Keadaan ini menyebabkan IPM mengalami kendala dalam mengembangkan keberadaannya secara lebih leluasa dan terbuka. Agenda Permasalahan IPM yang membutuhkan perhatian khusus untuk segera dipecahkan pada waktu adalah tentang keberadaan IPM secara nasional yang dipermasalahkan oleh pemerintah karena OSIS lah satusatunya organisasi pelajar yang diakui eksistensinya di sekolah. Konsekwensinya semua organisasi yang menggunakan kata-kata pelajar harus diganti dengan nama lain. Pada awalnya IPM dan beberapa organiasasi pelajar sejenis berusaha tetap konsisten dengan nama pelajar dengan berharap ada peninjauan kembali kebijaksanaan pemerintah tersebut pada masa mendatang. Namun konsistensi itu ternyata membawa dampak kerugian yang tidak sedikit bagi IPM karena kemudian kegiatan IPM secara nasional seringkali mengalami hambatan dan kesulitan penyelenggaraannya. Disamping itu beberapa organisasi pelajar yang lain yang senasib dengan IPM satu-persatu mulai menyesuaikan diri, sehingga IPM merasa sendirian memperjuangkan konsistensinya. Pada sisi lain IPM merasa perlu untuk segera memperbaharui visi dan orientasi serta mengembangkan gerak organisasi secara lebih luas dari ruang lingkup kepelajaran memasuki ke dunia keremajaan sebagai tuntutan perubahan dan perkembangan zaman. Maka tanggal 18 November 1992 berdasarkan SK PP Muhammadiyah No. 53/SK-PP/ IV.B/1.b/1992 Ikatan Pelajar Muhammadiyah secara resmi berubah menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah. [/accordion] [accordion title="3. Fase Pengembangan (mulai tahun 1992 s/d 2008)"] Perubahan nama IPM menjadi IRM beriringan dengan situasi bangsa Indonesia tengah menyelesaikan PJPT I (Pembangunan Jangka Pendek Tahun I) dan akan memasuki PJPT II. Banyak kemajuan yang telah diperoleh bangsa Indonesia sebagai hasi PJPT I, diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi yang semakin baik dan pesat, stabilitas nasional yang semakin mantap, dan tingkat pendidikan, kesehatan, dan sosial ekonomi masyarakat semakin baik. Namun demikian ada beberapa pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan bangsa Indonesia pada PJPT II antara lain: masalah pemerataan pembangunan dan kesenjangan ekonomi, demokratisasi, ketertinggalan di bidang IPTEK, permasalahan sumber daya manusia, dan penegakan hukum dan kedisiplinan. Sementara itu, era 90-an ditandai dengan semakin maraknya kesadaran ber-Islam diberbagai kalangan masyarakat muslim di Indonesia. Di samping itu peran dan partisipasi ummat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga semakin meningkat. Kondisi yang demikian memberi peluang bagi IRM untuk dapat berkiprah lebih baik lagi. Pada sisi lain, kemajuan teknologi komunikasi dan informasi semakin membawa manusia ke arah globalisasi yang membawa banyak perubahan pada berbagai sisi kehidupan manusia. Tatanan sosial, budaya, politik, dan ekonomi banyak mengalami perombakan drastis. Salah satu perubahan mendasar yang akan banyak membawa pengaruh bagi bangsa Indonesia adalah masalah liberalisasi ekonomi. Liberalisasi ekonomi sebagaimana telah diputuskan dalam konferensi APEC merupakan kebijakan yang tidak terelakkan karena mulai tahun 2003 mendatang Indonesia harus memasuki era AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang dilanjutkan pada tahun 2020 dalam skema liberalisasi perdagangan yang lebih luas di Asia Psifik. Pengaruh liberalisasi ekonomi ini akan berdampak luas tidak hanya dalam aspek ekonomi saja, tetapi juga dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya. Salah satu dampak yang sekarang sangat dirasakan adalah munculnya krisis moneter yang terjadi di Asia Tenggara dan sebagian Asia Timur. Munculnya krisis yang dimulai dengan timbulnya depresi mata uang, disebabkan oleh ketidakpastian perangkat suprastruktur dan infrastruktur baik ekonomi maupun politik dalam mengantisipasi dampak globalisasi perdagangan. Fenomena ini kemudian memunculkan tuntutan reformasi di bidang ekonomi dan politik sebagai prasyarat untuk mengantisipasi dan menyelesaikan persoalan krisis. Di Indonesia sebagai salah satu negara yang terkena krisis dan menderita paling parah juga muncul tuntutan reformasi. Fenomena reformasi yang dituntut masyarakat Indonesia adalah reformasi yang mendasar diseluruh bidang baik di bidang ekonomi, budaya, politik bahkan sampai reformasi moral. Tuntutan reformasi ini jelas mendesak IRM untuk melakukan peran dan fungsinya sebagai organisasi keagamaan dan dakwah Islam dikalangan remaja menjadi lebih aktif dan responsif terhadap perkembangan perjalanan bangsa menuju masyarakat dan pemerintahan yang bersih dan modern. Dalam kondisi yang demikianlah IRM memasuki fase pengembangan, yaitu perkembangan pasca perubahan nama IPM menjadi IRM hingga terselenggaranya pelaksanaan pola kebijakan jangka panjang IRM pada Muktamar XII. Diharapkan nantinya IRM telah mencapai kondisi yang relatif mantap baik secara mekanisme kepemimpinan maupun mekanisme keorganisasian sehingga mampu secara optimal menjadi wahana penumbuhan dan pengembangan potensi sumber daya remaja. Pengelolaan sumber daya yang dimiliki Ikatan Remaja Muhammadiyah harus didukung dengan adanya peningkatan kapasitas kualitas pemimpin, mekanisme kerja yang kondusif yang seiring dengan kemajuan zaman, serta pemantapan dan pengembangan gerak Ikatan Remaja Muhammadiyah yang berpandangan ke depan namun tetap dijiwai oleh akhlak Mulia. IRM dituntut untuk dapat menyiapkan dasar yang kokoh baik secara institusional maupun personal sehingga tercipta komunitas yang kondusif bagi para remaja sehingga dapat menghadapi setiap perkembangan zaman yang ada. [/accordion] [accordion title="4. Fase Kebangkitan (mulai tahun 2006 s.d 2010)"] Pada fase ini, terhitung sejak delapan tahun sebelumnya dimana bangsa Indonesia sedang ramai menyambut masa baru yang diharapkan dapat melakukan perubahan bangsa yang lebih baik yaitu masa reformasi tahun 1998. Akan tetapi pada kenyataannya pasca reformasi hingga tahun 2006 yang telah dipimpin oleh tiga kepemimpinan presiden yang berbeda (Bpk. Abdurrahman Wahid, Ibu Megawati Soekarno Putri dan Bpk. Susilo Bambang Yudhoyono), tidak kunjung membawa perubahan yang lebih baik bagi bangsa, bahkan memunculkan penyakitpenyakit baru di negeri ini. Demikian juga hingga saat ini, memasuki masa kepemimpinan “Kabinet Indonesia Bersatu jilid II”, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, telah menunjukkan kesempurnaan hancurnya negeri ini, seperti yang banyak diungkapkan oleh para ahli dan pakar, serta pengamat politik di Indonesia. Karena bangsa ini sedang dipimpin oleh para pemimpin bangsa yang cenderung korup dan senang menjual bangsanya ke negara asing atau bisa dikatakan kepemimpinan bangsa yang tidak lagi memiliki karakter kepemimpinan yang selalu siap membela rakyatnya, membawa rakyatnya kepada kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Hal ini dapat dilihat dari maraknya korupsi disemua jenjang struktur pemerintahan yang ada, permainan politik yang tidak mencerdaskan rakyat justru melakukan pembodohan pada masyarakat dan masih banyak lagi persoalan bangsa yang melekat di negeri ini. Hal ini menunjukkan bahwa betapa bangsa ini sedang krisis disegala bidang, bahkan krisis moral pemimpin bangsa. Dari sinilah IRM yang kemudian kembali berubah nama menjadi IPM pada tahun 2008 dituntut untuk terus berperan dalam melakukan gerakan dakwahnya, khususnya dikalangan remaja/pelajar sebagai penerus estafeta kepemimpinan bangsa beberapa tahun mendatang. Di tengah kondisi bangsa yang sedang krisis disegala bidang dan dilanda banyaknya musibah atau bencana alam yang tidak kunjung selesai pada tahun 2004-2009 (kepemimpinan presiden SBY) kala itu. Di tubuh IRM-pun pada Muktamar XIV tahun 2006 di Medan, turut merespon kondisi bangsa kala itu. Karena IRM sangatlah sadar sekali akan gerakan sosial yang dilakukan berlandaskan pada nilainilai perjuangan untuk melakukan suatu perubahan yang lebih baik, yang kemudian sangat dikenal dengan Gerakan Kritis Transformatif (GKT)-nya. Akan tetapi cenderung mengalami pergeseran pergerakan yang kemudian menjadi meluas dan tidak lagi fokus terhadap bassis massa yang seharusnya menjadi perhatian utama oleh IRM sebagai organisasi remaja/pelajar Muhammadiyah. Oleh karena itulah, kemudian pada Muktamar XIV tahun 2006 di Medan kembali menyuarakan agar IRM kembali berubah nama menjadi IPM dengan beberapa alasan diantaranya; Masa Orde Baru telah runtuh, kini telah lama memasuki masa reformasi dan sudah tidak ada lagi tekanan dari pemerintah bahwa satu-satunya organisasi pelajar di sekolah hanyalah OSIS, maka IPM dapat kembali ke bassis massanya secara riil yaitu “pelajar”. Dan yang kedua, IRM harus kembali pada fokus gerakannya sebagai bassis massa utama yaitu “pelajar”. Karena pelajar dan pendidikan merupakan salah satu pilar utama dalam melakukan perubahan bangsa yang lebih baik beberapa tahun kedepan. Meskipun kemudian belum secara menyeluruh menemukan kesepemahaman atau kesepakatan bersama untuk merubah nama IRM menjadi IPM, akan tetapi proses prubahan nama tersebut telah berjalan, yang kemudian pada forum Muktamar tersebut memutuskan untuk pembentukan tim eksistensi IRM. Hingga pada akhirnya gong perubahan nama tersebut diperdengarkan lebih cepat sebelum kinerja tim eksistensi dapat menghasilkan sesuatu yang matang untuk IRM/IPM kedepan. Pada keputusan Tanwir Muhammadiyah pada tahun 2008 di Yogyakarta, Muhammadiyah memutuskan perubahan nomenklatur IRM menjadi IPM kembali. Hingga pada akhirnya pintu gerbang IPM-pun kembali terbuka, dan IRM resmi kembali berubah nama menjadi IPM pada Muktamar XVI pada tahun 2008 di Solo. Kini IPM-pun kembali pada bassis massa dan fokus gerakannya yaitu membela kaum pelajar dan memperjuangkan pendidikan yang lebih baik, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itulah IPM saat ini kembali ke sekolah (back to shcool), kembali memperjuangkan hakekat pendidikan yang sesungguhnya, yang dapat menghasilkan “Insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif”, sesuai dengan visi pendidikan nasional. Melalui berbagai macam pelatihan, seminar-seminar, workshop dan lain sebagainya IPM melakukan proses penyadaran terhadap pelajar akan peran serta fungsi pelajar sebagai obyek maupun subyek dari proses pembelajaran dan perubahan. Serta melakukan proses pemberdayaan dan pembelaan terhadap pelajar yang selama ini selalu saja dijadikan sebagai obyek dari sistem yang tidak mencerdaskan, akan tetapi lebih kepada pendeskriditan pelajar demi kepentingan sepihak atau kelompok tertentu. Padahal disisi lain, seiring dengan perkembangan zaman yang ada, baik dari segi teknologi, komunikasi atau ilmu pengetahuan pada umumnya menjadi tantangan yang besar bagi pelajar. Menuntut para pelajar agar dapat berjuang lebih keras lagi (kompetitif) dan kreatif dalam bertindak dan menciptakan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi ummat dan bangsa. Oleh karena itulah, hal tersebut menjadi salah satu alasan bagi IPM untuk merumuskan suatu rumusan gerakan IPM yang sesuai dengan tantangan dan perkembangan zaman yang sedang dihadapi pelajar saat ini. Akhirnya pada Muktamar XVII pada tahun 2010 di Yogyakarta kemarin, IPM kembali mendeklarasikan satu gerakan yang saling terkait dengan gerakan-gerakan IPM yang pernah ada sebelumnya. Gerakan tersebut dinamakan sebagai “Gerakan Pelajar Kreatif”, yang kemudian melahirkan satu visi IPM satu periode ini, hingga tahun 2012, yaitu “Menjadikan IPM sebagai Rumah Kreatif Pelajar Indonesia”. Semoga IPM dapat mengimplementasikan gerakan yang ada secara massif dan progressif, sehingga dapat mencapai visi IPM yang telah dicanangkan dalam rangka mewujudkan “Pelajar Muslim yang berilmu, berakhlak mulia dan terampil dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.

SEJARAH SINGKAT PANDU HIZBUL WATHAN

SEJARAH SINGKAT PANDU HIZBUL WATHAN
DETIK DETIK LAHIRNYA HW
Pada suatu hari (Ahad) KH. Ahmad Dahlan memanggil beberapa guru Muhammadiyah : Bp. Somodirdjo (Mantri Guru Standart School Suronatan), Bp. Syarbini dari sekolah Muhammadiyah Bausasran dan seorang lagi dari Sekolah Muhammadiyah Kota Gede.
KH. Ahmad Dahlan berkata kira-kira demikian :
“Saya tadi pagi di Solo sepulang dari Tabligh sampai di muka Pura Mangkunegaran di alun-alun Surakarta melihat anak-anak baris-berbaris, sebagian bermain-main, semuanya berpakaian seragam, baik sekali! Apa itu??”.
Bp. Somodirjo menjelaskan bahwa itu adalah Pandu Mangkunegaran yang namanya JPO (Javaanche Padvinderij Organisatie) ialah suatu gerakan pendidikan anak-anak diluar sekolah dan rumah.
Mendengar keterangan tersebut KH. Ahmad Dahlan menyambut :
“Alangkah baiknya kalau anak-anak keluarga Muhammadiyah juga dididik semacam itu untuk leladi menghamba kepada Allah, selanjutnya beliau mengharap kepada para guru untuk mencontoh gerakan pendidikan itu”.
Bp. Somodirdjo dan Bp. Syarbini mempelopori mengadakan persiapan – persiapan akan mengadakan gerakan pendidikan untuk anak-anak diluar sekolah dan rumah. Mula-mula yang digerakkan untuk latihan adalah para guru-guru sendiri dulu. Pendaftaran dimulai dan latihan pun diadakan di SD Muhammadiyah Suronatan tiap Ahad Sore. Latihan meliputi baris-berbaris, bermain tambur dan olahraga, kemudian ditambah dengan PPPK dan kerohanian. Bp. Syarbini adalah seorang pemuda yang pernah mendapat pendidikan kemiliteran melatih baris-berbaris. Banyak pemuda yang tertarik sehingga pengikut latihan semakin banyak. Akhirnya diadakan penggolongan yakni golongan dewasa dan anak-anak.

PADVINDER MUHAMMADIYAH
Tahun 1918 adalah saat Gerakan Hizbul wathan melangkahkan langkahnya yang pertama dengan nama Padvinder Muhammadiyah. Nama tersebut semakin populer. Untuk pengawasan Gerakan padvinder Muhammadiyah ini diserahkan kepada Muhammadiyah bagian sekolahan. Oleh Muhammadiyah bagian sekolahan tersebut dibentuklah pengurus sebagai berikut :
Ketua : H. Muchtar
Wakil Ketua : H. Hadjid
Sekretaris : Somodirdjo
Keuangan : Abdul Hamid
Organisasi : Siradj Dahlan
Komando : Sjarbini dan Damiri
Untuk memajukan gerakan tersebut, direncanakan akan mengadakan studi ke JPO Solo. Agar kunjungan ke JPO Solo tersebut meriah, bagian sekolahan mengusahakan uniform, kemeja drill kuning dan kemeja drill biru, sedang untuk setangan leher untuk mudahnya menggunakan kacu yang banyak dijual ialah kacu merah berbintik hitam.
Kedatangan Padvinder Muhammadiyah menggemparkan kota Solo. Di lapangan mangkunegaran diadakan demonstrasi-demonstrasi dan macam-macam permainan sebagai perkenalan. Padvinder Muhammadiyah mendapat pelajaran yang sangat berharga dalam kunjungan ke JPO Solo.

NAMA HIZBUL WATHAN
Sepulang dari kunjungan ke JPO Solo tersebut dibicarakan nama dari Padvinder Muhammadiyah. Di rumah Bp. H. Hilal Kauman, RH. Hadjid mengajukan nama yang dianggap cocok pada waktu itu yaitu HIZBUL WATHAN, yang berarti Pembela Tanah Air. Hal ini mengingat adanya pergolakan-pergolakan di luar negeri maupun di dalam negeri yaitu masa berjuang melawan penjajah Belanda.
Nama HIZBUL WATHAN sendiri berasal dari nama kesatuan tentara Mesir yang sedang berperang membela tanah airnya. Dengan kata sepakat nama HIZBUL WATHAN dipakai mengganti nama “Padvinder Muhammadiyah“ tahun 1920.
Kejadian itu bertepatan dengan peristiwa akan turunnya dari tahta Paduka Sri Sultan VII di Yogyakarta. Untuk turut menghormat dan akan ikut mengiringkan pindahnya Sri Sultan VII dari keraton ke Ambarukmo, diadakan persiapan-persiapan dam latihan. Pada tanggal 30 Januari 1921 barisan HW keluar turut mengiringkan Sri Sultan VII pindah dari keraton ke Ambarukmo. Keluarga HW mendapat penuh perhatian dari khalayak ramai. Dari saat itulah HW terkenal pada umum. Hal ini ditambah lagi sesudah beberapa hari kemudian HW berbaris dalam perayaan penobatan Sri Sultan VIII. Perayaan diadakan di alun-alun utara Yogyakarta. HW turut pula dengan mengadakan demonstrasi dimuka panggung dimana Sri Sultan VIII dengan para tamu menyaksikannya.
HW telah menjadi buah bibir masyarakat. Demikianlah uniform HW mulai dikenal masyarakat. Maka tidak heranlah, kalau kadang-kadang kalau ada anak Belanda atau Cina berpakaian Padvinder (NIPV) dikatakan : “Lho, itu ada HW Landa, Lho itu ada HW Cina”, yang sebetulnya yang dimaksud adalah Padvinder NIPV, bahkan setiap ada anak berpakaian pandu selalu dikatakan Pandu HW.
Pada tanggal 13 Maret 1921 KH. Fachrudin menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya yang diantar oleh barisan Pandu HW dan Warga Muhammadiyah sampai Stasiun Tugu Yogyakarta. KH. Fachrudin sempat berpesan didepan anggota-anggota HW dengan menanamkan anti penjajah pada anak HW :
“Tongkat-tongkat yang kamu panggul itu pada suatu ketika nanti akan menjadi senapan dan bedil”
Pesan KH. Fachrudin itu ternyata benar, karena beberapa tahun kemudian banyak anggota HW yang memegang senjata pada Zaman Jepang dengan memasuki barisan PETA (Pembela Tanah Air) seperti : Suharto (Presiden), Sudirman (Panglima Besar TNI), Mulyadi Joyomartono, Kasman Singodimejo, Yunus Anis, dll.
Pesatnya kemajuan HW rupaya mendapat perhatian dari NIPV (perkumpulan kepanduan Hindia belanda sebagai cabang dari kepanduan di Negeri Belanda(NPV)). Pada waktu itu gerakan kepanduan yang mendapat pengakuan dari Internasional hanyalah yang bergabung dalam NIPV tersebut.

HW MENOLAK BERGABUNG DENGAN NIPV
M. Ranelf seorang pemimpin dari NIPV dan yang memegang perwakilan NPV telah datang di Yogyakarta menemui pimpinan HW, mengajak supaya HW masuk ke dalam organisasi NIPV. Usaha-usaha Ranelf selaku komisaris NIPV tiada hentinya untuk menarik HW menjadi anggota NIPV sehingga ketika Konggres Muhammadiyah tahun 1926 di Surabaya, ia mengikuti Konggres Muhammadiyah dari awal sampai dengan selesai.
Selanjutnya diadakan pertemuan lagi di Yogyakarta oleh wakil NIPV, mengajak HW masuk kedalam organisasi NIPV. HW mempunyai prinsip-prinsip yang sukar diterima oleh Padvinder. Adapun HW jika dikatakan itu bukan Padvinder, bagi HW tidak keberatan. HW adalah Hizbul Wathan, mau dikatakan itu padvinder atau bukan terserah yang mau mengatakannya.
KH. Fachrudin mengetahui bahwa NIPV merupakan kepanduan yang bersifat ke Belanda an dan merupakan alat dari penjajah Belanda, sehingga ajakan tersebut ditolak HW. Alasan HW menolak ajakan tersebut karena HW sudah mempunyai dasar sendiri yaitu Islam, dan HW sudah mempunyai induk sendiri yaitu Muhammadiyah. Sesuai dengan induknya HW bersemangat anti penjajah, HW tidak dapat diatur menurut aturan NIPV.

HW PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG
Pada permulaan jaman Jepang HW masih nampak kegiatannya, bahkan ikut pawai yang diadakan oleh Jepang dalam rangka merayakan UlangTahun Tenno Heika, sedangkan yang memimpin pawai tersebut Bp. Haiban Hadjid. HW terpilih untuk ikut serta dalam pawai tersebut karena HW dalam baris-berbaris terkenal bagus dibandingkan dengan kepanduan lainnya. Oleh karena itu pandu-pandu dari organisasi lain memberi identitas HW sebagai PANDU MILITER.
Kepanduan pada permulaan perndudukan Jepang namapknya akan mendapat kesempatan hidup terus. Namun tidak lama kemudiansecara terang-terangan Jepang melarang berdirinya organisasi-organisasi kepanduan serta pergerakan lainnya.
Sehingga semua pandu-pandu di Indonesia tidak aktif dari kegiatannya.

PADA MASA KEMERDEKAAN
Sesudah proklamasi kemerdekaan timbullah keinginan untuk menghidupkan kembali organisasi kepanduan Indonesia. Sedang bentuk dan sifatnya harus sesuai dengan keadaan, yakni suatu organisasi kepanduan yang bersatu meliputi seluruh Indonesia dan tidak terpecah belah.
Pada akhir bulan September 1945 di Balai Mataram Yogyakarta berkumpullah beberapa orang pemimpin pandu. Dari HW hadir Bp. M. Mawardi dan Bp. Haiban Hadjid.
Pada tanggal 27 – 29 Desember 1945 diadakan konggres Kesatuan Kepanduan Indonesia yang hadir lebih kurang 300 orang. Termasuk utusan dari HW. Dalam konggres ini dengan suara bulat diputuskan membentukPANDU RAKYAT INDONESIA.
Anggota pengurus Kwartir Besar Pandu Rakyat Indonesia antara lain : Dr. Mawardi (KBI), Hertog (KBI), Abdul Ghani (HW), Jumadi (HW).
Tahun 1948 terjadilah aksi polisionil ke 2, Belanda mendudukiYogyakarta, Ibu Kota RI.
Konggres pandu Rakyat kedua diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 20 sampai dengan 22 Januari 1950. Keputusan-keputusan yang dihasilakn dalam konggres Pandu Rakyat Indonesia yaitu antara lainmenerima konsepsi baru yang memberi kesempatan kepada bekas pemimpin pandu untuk menghidupkan kembali organisasinya masing-masing.

AMANAT PANGSAR JENDERAL SUDIRMAN
Pada hari Ahad Legi 19 Desember 1948 Belanda menyerbu dan menduduki Ibu Kota RI Yogyakarta dan menangkap Presiden dan Wakil Presiden serta beberapa pemimpin Indonesia lainnya, tetapi bukan berarti RI telah jatuh. Pangsar Jenderal Sudirman (Pandu HW) meskipun dalam keadaan sakit beliau pantang menyerah, keluar kota untuk memimpin perang gerilya.
Pada tanggal 29 Juni 1948 Belanda meninggalkan Yogyakarta dan masuklah tentara RI ke Yogyakarta, yang kemudian terkenal dengan Yogya Kembali. Pangsar Jenderal Sudirman masih dalam keadaan dan dirawat di RS Magelang.
M. Mawardi dan beberapa orang wakil dari Muhammadiyah menengok di RS Magelang. Pada saat itu Jenderal Sudirman mengamanatkan kepada Mawardi selaku Wakil Muhammadiyah agar Kepanduan Hizbul Wathan yang merupakan tempat pendidikan untuk CINTA TANAH AIR didirikan lagi. Di samping itu juga untuk melanjutkan tujuan semula pendirian HW yaitu : sebagai kader Muhammadiyah dalam penyebaran agama Islam. Dikatakan bahwa HW merupakan tempat yang baik untuk mendidik anak-anak Muhammadiyah agar kelak menjadi seorang pejuang yang cinta tanh air dan sekaligus taat pada agama. Oleh karena itu dianjurkan pada warga Muhammadiyah agar jangan ragu-ragu lagi untuk mendidik putra-putrinya melalui Kepanduan HW.

APEL PERESMIAN BERDIRINYA KEMBALI HW
Untuk melaksanakan amanat Pangsar Jendral Sudirman pada sore hari tanggal 29 Januari 1950 secara simbolis HW mengadakan apel yang dipimpin oleh Bp. Haiban Hadjid untuk meresmikan berdirinya kembali kepanduan Hizbul Wathan, dan pada malam harinya Pangsar TNI Jenderal Sudirman wafat. Oleh karenanya pada waktu itu ada semboyan :
“HW BANGKIT UNTUK MELANJUTKAN KEPEMIMPINAN JENDERAL SUDRIMAN”
Setelah HW resmi berdiri lagi banyaklah anggota Pandu Rakyat yang dulu juga pandu HW masuk kembali ke dalam Hizbul Wathan.

MAJELIS HW
Kepanduan Hizbul Wathan yang merupakan organisasi bagian Muhammadiyah dalam struktur organisasinya tidak dapat dipisahkan dari Muhammadiyah. Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis HW disingkat dengan Majelis HW adalah suatu badan pembantu Pimpinan Muhammadiyah yang diserahi tugas melaksanakan Pimpinan, usaha Muhammadiyah dalam bidang Ke HW an. Majelis HW adalah sebagai Kwartir Besar HW dan mempunyai Pimpinan langsung ke bawah tingkat daerah, cabang. Anggota Majelis HW terdiri dari anggota Muhammadiyah yang mempunyai keahlian tentang HW. Mereka ditetapkan dan diberhentikan oleh PP Muhammadiyah.

MAJELIS HW TAHUN 1961
Ketua : MH. Mawardi
Wk/Kb Umum : R. Haiban Hadjid
KB Bag. Lab : HAG Dwidjosuparto
KB Penghela : R. Subiso Sastrowarsito
KB Pengenal : H. Suroso
KB Athfal : Donowardoyo
KB Bag. Latihan : Otong Muchsin
KB Perw. Jakarta : KH. Mansur
Anggota : R. Dawam Marzuki
Bendahara : Hirmas
Sekretaris I : H. Amien Luthfie
Sekretaris II : Achmad Sumitro, BSc
Sekretaris III : Rofiq JA
Pustaka :
Buku Kenang-Kenangan
Reuni Pandu HW Wreda
di Yogyakarta, 14 Januari 1996