Selasa, 13 November 2012

ASAL MULA KOTA BOJONEGORO

Sekarang mari kita bicara soal kota yang dimana gue di lahirkan dan di besarkan hingga sekarang ini tapi sayangnya sekarang saya sekolah di luar kota atau tepatnya di SMK TELKOM Malang.
 
Di waktu masa Maha Raja Balitung (th – 910 M) yang menguasai Jawa Tengah dan Jawa Timur daerah yang sekarang dikenal dengan nama Bojonegoro belumlah ada. Yang ada hanyalah hutan luas yang diimpit oleh pegunungan kapur di sebelah selatan dan utara yang dilewati sungai bengawan solo dan sungai brantas.

Hutan ini baru ditempati kira-kira tahun 1000 masehi oleh orang-orang Keratin Madang Kemulan. Awal mulanya hutan ini diberi nama alas tuo (hutan tua), namun setelah masyarakat imigran dari Jawa Tengah datang, mulailah banyak didirikan desa-desa di sekitar hutan. Diantaranya adalah Desa Gadung, Desa Dander dan sebagainya.
Para pendatang yang mendirikan desa-desa itu membuat masyarakat sendiri berdasarakan hubungan keluarga. Di tiap-tiap masyarakat tersebut terdapat kepala desa. Di antara kepala desa tersebut, ada yang bernama Ki Rahadi yang menguasai Dukuh Randu Gempol. Akibat masuknya kebudayaan hindu yang di terima Ki Rahadi, maka cara pemerintahan yang sedang ia pegang cenderung meniru cara pemerintahan hindu.
Kemudian nama Ki Raharadi di ubah menjadi Rakai Purnawakilan. Dukuh Randu Gempol diubah menjadi Kerajaan Hurandhu Purwo (sekarang tempatnya di Plesungan, Kapas). Beliau mengangkat dirinya sendiri menjadi raja yang mempunyai aliran Syiwa. Kerajaan diperluas dari Gunung Pegat hutan Babatan (sekarang Babat), sampai Purwosari Cepu dan Jatirogo (Tuban) sampai layaknya benteng pertahanan kerajaan. Pusat kerajaan berlokasi di daerah Kedaton (sekarang di daerah Kapas).

Jalan propinsi kota Bojonegoro antara lain ; Jl. Gajah Mada, Dipenogoro, Kartini, AKBP M. Sueroko sampai Jalan Jaksa Agung Suprapto. Jalan-jalan tersebut dulunya masih berupa sungai besar yang sekarang dinamakan Sungai Bengawan Solo yang waktu itu ramai sekali digunakan untuk perdagangan. Dulu, raja senang sekali berburu, dan saat ini tempat yang dulu sering digunakan sebagai tempat berburu raja berada di Desa Padang dan Sumberarum. Kerajaan Hurarandu Purwa musnah bersamaan dengan hilangnya raja rakai pikatan secara turun menurun.

Di awal abad 19, Indonesia berada dibawah kekuasaan pemerintahan Belanda. Di tahun 1824 ada 3 daerah di sekitar b\Bojonegoro yang belum ikut dalam pemerintahan Belanda yaitu daerah:

1. Kabupaten Mojoranu (dander) yang dipimpin oleh bupati R.T. Sosrodiningrat.
2. Kabupaten Padangan (desa pasinan) yang di pimpin oleh bupati R.T. Prawirogdo
3. Kabupaten Baurno (desa kauman) yang dipimpin oleh Bupati R.T. Honggrowikomo

Ketiga bupati di atas, berada di bawah pengawasan Bupati Madiun yang bernama R.T Ronggo yang mewakili Kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Waktu itu nama Bojonegoro belum ada. Pemerintahan Belanda menginginkan ketiga kabupaten dijadikan satu dan dibentuk sebuah kabupaten baru yang ikut dalam wilayah pemerintahan Belanda. Untuk keperluan tersebut, akhirnya tiga bupati di atas diajak bermusyawarah di daerah Padangan. Hal ini terjadi pada tahun 1826. Akan tetapi ketidakhadiran Bupati Mojoranu yaitu R.T Sosrodinigrat yang sedang berpergian ke Desa Cabean di daerah Rejoso Nganjuk, dapat dijadikan alasan untuk mengurungkan niat penggabungan kabupaten tersebut.
Selama perginya Bupati Mojoranu, pemerintahan Kabupaten Mojoranu diserahkan kepada Pateh Demang R. Sumosirjo beserta putra-putrinya yaitu R.M Sosrodilogo, dan R.M Surratin yang waktu itu masih bertempat tinggal di daerah Nganjuk, dan masih belajar agama di daerah Ngithitik.

Keinginan Pemerintahan Belanda untuk menyatukan tiga daerah tersebut akhirnya gagal. Kemudian Pemerintah Belanda memasang rambu-rambu di wilayah Mojoranu, dan membuat sebuah daerah tandingan yang di beri nama Kabupten Rajekwesi, sekaligus membuat penjara. Pemerintahan Belanda mengangkat R.T Purwonegoro menjadi Bupati Rajekwesi yang waktu itu masih berstatus sebagai Bupati Probolinggo, namun hanya untuk semestara. Pusat kabupaten waktu itu berlokasi di daerah Ngumpak Dalem.

Karena pemerintahan R.T Purwonegoro di Rejekwesi tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh Belanda, maka Belanda mengangkat R.T Joyonegoro, anak R.T Purwonegoro untuk menggantikan bapaknya. Di masa pemerintahan Belanda, Kapubaten Mojoranu dianggap tidak ada. Melihat kenyataan yang demikian, R.T Sosrodilogo akhirnya mengadakan hubungan dengan Pangeran Dipenogoro di Mataram.

Disuatu waktu R.T Joyonegoro malihat R.M Suratin, dan R.T Sosrodiningrat sebagai Bupati Mojoranu memakai kebesan kerajaan. Saat itu juga R.M Suratin ditangkap dan dijebloskan ke penjara Rajekwesi. Kejadian itu diketahui R.T Sorodilogo. Setelah berunding dengan Patih Demangan R. Sumodirojo dan Demang Kapoh, maka R.T Sosrodilogo meminta bantuan kepada Pengeran Dipenogoro dari mataram. Akhirnya dikirimlah bala bantuan sebanyak 40 orang.

Kejadian tersebut sengaja di buat hingga akhirnya terjadi peperangan kecil diantara Mojoranu dan Rajekwesi. Ke-40 orang dari Mataram kemudian ditawan dan Pateh Demangan R. Sumodirjo gugur dan dimakamkan di Desa Bendo (kapas). R.T Sosrodilogo juga dimasukan ke penjara dan dituduh sebagai pemberontak. Dipenjara Rajekwesi, R.T Sosrodilogo bertemu dengan adiknya R.M Suratin. Keduanya bekerjasama untuk mengadakan pemberontakan dengan perencanaan yang lebih matang dan rapi.

Akhirnya keduanya bisa lepas dari penjara dan peperangan dimulai kembali. Kabupaten Rajekwesi dikepung dari berbagai arah. Dalam peperangan ini Patih Somodikaran gugur dan dimakamkan di desa yang sekarang disebut Desa Sumodikaran (dander). Kekuatan Kerajaan Rajegwesi melemah. Pasukan Mojoranu terus maju dan mendesak pasukan rajekwesi. Pada akhirnya Rajekwesi pun hancur.

Pemerintahan Belanda mendirikan markas kecil dan pos-pos pertahanan di daerah yang masih mereka kuasai, diantaranya; Rembang Blora. Rajekwesi, Bancar, Jatirogo, Planturan, Babat, Kapas dll. Pasukan Belanda semakin meningkatkan pertahanannya untuk mengimbangi pemberontakan rakyat. Sementara itu pahlawan R.T Sosrodilogo di rajekwesi dan sekitarnya .
Kemenangan Sosrodilogo bersama pengikut merebut rajekwesi akhirnya menimbulkan semangat perlawanan terhadap belanda di daerah lain. Kota Baorno yang diduduki belanda yang berada di perbatasan Surabaya dan tuban meraka kewalahan dan terancam. Pasukan rakyat juga menguasai daerah selatan padangan. Diteruskan kemudian akanmenyerang kota ngawi. Bisa dikatakan diakhiri. Tahun 1827 di daerah rajekwesi di penuhi dengan pemberontakan dan peperangan.
Pahlawan rakyat melawan pemrenthan belnda si awali dari pecahnya oerang di penogoro di mataram pda tahun 1825. R.T Sosrodilogo yang memimpin pasukannya merebut rejekwesi sempat juga di jadikan perwira pasukan kraton Yogyakrata dan pangeran dipenogoro. Perlawanan rakyat juga dialami di kota blora dipimpin oleh Raden Ngabel Tortonoto yang akhirnya menguasai kota blora.

Akhirnya kota rajekwesi dibakar hangus oleh pasukan mojoranu R.T Sosrodilogo bersama pasukannya menguasai semua daerah sekitar kabupaten rejekwesi. Bupati rajekwesi R.T joyonegoro melarikan diri meminta ke bupati sedayu. Sebelum sampai kabupaten sedayu teryata R.T joyonegoro bertemu dengan bupati sedayu di bengawan solo yang sudah siap dengan bala tentaranya yang akan membantu R.T joyonegoro.
Kabupaten sedayu merupakan sekutu rajekwesi yang sama-sama mengakui kekuasaan pemerentahan belanda. Di pinggir daerah rajekwesi bupati sedayu bersama pasukanya mendirikan markas-marakas kecil sementara pasukan lainya diperentah untuk menyerbu kabupaten mojoranu. Sesampai di kabupaten mojoranu pasukan sedayu bertempur dengan pasukan mojoranu. Pasukan sedayu yang berasal dari orang-orang masura dan makasar akhirnya terdesak dan kembali ke markasanya.

Kota rajekwesi akhirnya diduduki oleh R.T Sosrodilogo salah satu kesalahan besar pasukan rakyat adalah setelah mengalami kemenangan dalam peperangan. Banyak dari pasukan itu mau bersenang-senang dahulu sebelum meneruskan peperangan selanjutnya. Hal ini di manfaatkan oleh belanda untuk mengumpulkan dan menata kekuatan kembali.

Bantuan dari belanda mengalir terus menerus ke rembang dan rejekwesi. Pasukan belandaa dari padangan akhirnya dikirim masuk ke kota rajekwesi pasukan rakyat semakin terdesak. mojoranu dapat dikalahkan R.T Sosrodilogo bersama pasukan yang tersisa melarikan diri.

Pada tanggal 26 januari 1828 belanda dapat memasuki kota rajekwesi. R.T Sorodilogo malarikan diri ke arah selatan planturan. Semangat pangikut R.T Sosrodilogo menjadi lemah. Pada tanggal 7 maret 1828 bisa dikatakan pahlawan rakyat di daerah rembang. Rajekwesi dan lain-lain dianggap rampung.
R.T Sosrodilogo bersama saudarannya yaitu raden bagus menjadi buronan oleh pihak belanda. Belanda mengadakan seyembara untuk menangkap kesua orang tersebut. Raden bagus akhirnya diserahkan kepada bupati setempat R.T Sosrodilogo melarikan diri ke jawa tengah dan bergabung dalam peperangan dipenogoro. Namun ahirnya pada tanggal 3 oktober 1828 R.T Sosrodilogo menyerah kepada belanda.

Setelah peperangan usai maka pemerentahan belanda mengundang R.T Sosorodilogo dan bupati sedayu menghadiri pesta besar-besaran (suka-suka bojono) untuk merayakan keberhasilan mengalahkan pasukan mojoranu. Saat itu pula pemerentah belanda mengangkat R.T Joyonegoro menjadi bupati bojonegoro. Nama kabupaten bojonegoro di ambil untuk menggantikan kerajaan rajekwesi yang sudah hancur. BOJO yang berarti bersenang-senang dalam perayaan tersebut. Sedangkan NEGORO berati Negara. Saat itu pemerentahan belanda dipimpin oleh H. Marcus De Kock dengan perangkat Letnan Gubernur Jendar (1826-1830).

R.T Joyonegoro Bupati Bojonegoro 1827-1844.

Berdasarkan cerita pusat kabupaten rejekwesi dulunya terletak di daerah Ngumpak Dalem, maka setelah peperangan dipindah ke daerah boghadung yang terletak di sebelah utara rajekwesi. Berdasarkan pertimbangan pada pejabat waktu itu. Tidak baik mendirikan Negara di lokasi yang sama dengan alas an rejekwesi pernah kalah dalam peperangan mojoranu. Desa Boghadung yang terletak sebelah utara bengawan solo masih ikut darah tuban waktu itu.

Di tahun 1828 bengawan solo sudah terpecah menjadi dua aliran. Desa Boghadung yang tedinya berada di sebelah utara bengawan. Setelah pindah di Boghadung ini kabupaten rajekwesi berubah menjadi nama Bojonegoro.

Di sini di berkembang cerita bahwa kata BO dari bojonegoro diambil dari kata Boghadung yang akhirnya menjadi kata Bojonegoro. Ada pula cerita lain yang mengatkan bahwa bojonegoro berasal dari kata BOJON yang artinya SUGU atau tanah yang diberikan untuk Negara dari daerah Tuban. R.T Joyonegoro beserta keluarganya pindah ke bojonegoro dan pension menjadi bupati bojonegoro pada tahun 1844.

dan sekarang ini bupati bojonegoro yang peduli dan mau terjun langsung ke masyarakat desa dan mampu menunjukan perkembangan masyarakat-masyarakat desa dengan sangat pesat dan insyaallahtidah lagi GAPTEK adalah KANG YOTO
Rasa penasaran akan kisah Prabu Angling Darma, yang konon meninggalkan beberapa peninggalan di Desa Parakan Kab. Temanggung, membuat saya mencoba mencari data di internet mengenai asal usul sang prabu. Namun yang saya dapat justru menimbulkan rasa penasaran yang lain, karena ternyata kisah Prabu Angling Darma justru lebih pantas disebut dongeng daripada sejarah. Meski lebih mirip dongeng, namun beberapa daerah meng-klaim sebagai tempat asal sang Prabu. Di Jawa Tengah saja, tak kurang ada 3 ( tiga ) daerah yang mengaku sebagai daerah petilasan Prabu Angling Darma, yaitu Temanggung ( Parakan ), Bojonegoro dan Pati. Belum lagi jelas juntrungannya, kisah Prabu Angling Darma sudah keburu disinetronkan. Sehingga kisahnya menjadi semakin terkontaminasi kisah khayalan. Masih untung bukan Malaysia yang meng-klaim sebagai pemilik kisah Prabu Angling Darma. He he he ... Kabupaten Bojonegoro, Pemerintah Daerahnya bahkan berencana membangun sebuah Museum dan sekaligus Monumen Angling Darma di desa Wotangare, yang menurut meraka, di desa inilah dulu merupakan pusat Kerajaan Malawapati yang diperintah oleh Prabu Angling Darma. Asal tahu saja, Pendopo Kabupaten Bojonegoro juga dinamai Pendapa Malawapati. Masih belum puas, PERSIBO, yang merupakan klub sepakbola Kab. Bojonegoro, juga menyebut dirinya Laskar Angling Darma. Menarik bukan? Menurut saya, hal ini sudah cukup menunjukkan kepedulian Pemerintah Daerah Bojonegoro akan peluang pendapatan daerah dari sektor pariwisata. Lha, kalau Kab. Temanggung? Maaf, situs Liyangan yang sudah jelas merupakan daerah Pemukiman jaman Kerajaan Matara Kuno saja tidak di urus. Sedikit yang menarik dari Prabu Angling Darma, kalau kita browsing di Wikipedia, Sang Prabu adalah keturunan Arjuna yang sudah pasti tokoh wayang. Tapi juga disebut cucu Raja Jayabhaya yang tokoh nyata. Raja Jayabaya atau Sri Maharaja Sri Warmmeswara adalah raja di Kerajaan Kadiri, yang berkuasa kurang lebih tahun 1135 M s/d 1159 M. Pertanyannya, sejak kapan Wayang bisa memiliki keturunan manusia sebenarnya? Atau, adakah tokoh wayang yang bernama Jayabaya? Entahlah, toh yang di Wikipedia pun tak menunjukkan sumbernya dari Babad mana, Babad Wikipedia tentu juga sangat meragukan keshahihannya. Namun untuk memenuhi keingintahuan pembaca yang belum tahu kisah tentang Prabu Angling Darma, disini akan saya postingkan kisah yang saya sarikan dari Wikipedia digabung dengan beberapa versi lain dari cerita rakyat Temanggung, Bojonegoro dan Pati, anggaplah kisah ini merupakan Babad Antah Berantah. Angling Darma adalah raja Kerajaan Malawapati, yang berpermaisurikan Dewi Setyowati, putri dari guru Angling Darma yakni Begawan Maniksutra. Kakak Dewi Setyawati bernama Batik Madrim, yang telah terlanjur bersumpah, bahwa barang siapa yang hendak memperistri adiknya, maka harus berhasil mengalahkannya. Angling Darma berhasil mengalahkan Batik Madrim dan mengangkatnya sebagai Patih Kerajaan. Meski berwatak baik, namun Angling Darma mudah meluapkan emosi, dan mudah tergoda dengan wanita cantik. Manusiawi dong, namanya juga raja. Tak perlulah kita bilang WOW atau malah HUUUUU ... Suatu ketika, Angling Darma mendapati sepasang burung jalak memadu kasih pada dahan pohon yang kebetulan berada persis diatas kepala sang Prabu. Tak tahu dua jalak tersebut adalah penjelmaan Sang Hyang Batara Guru dan istrinya Dewi Uma, Angling Darma memanah sepasang burung jalak tersebut. Batara Guru marah dan mengutuk Angling Darma akan berpisah dengan istrinya karena tak harmonis dalam bercinta. Terhipnotis oleh kutukan tersebut, Angling Darma tak bersemangat melayani istrinya. Tentu saja Dewi Setyowati kecewa karena merasa Angling Darma sudah tak sudi pada dirinya. Saat hubungan dengan istrinya kurang harmonis, Angling Darma berusaha menenangkan dirinya dengan pergi berburu. Di hutan, dia melihat Naga Gini yang merupakan istri dari Naga Raja atau Naga Pertala sahabatnya, sedang berselingkuh dengan seekor Ular Tampar. Angling Darma kembali murka dan memanah si Ular Tampar hingga mati. Sialnya, ekor Naga Gini terserempet anak panah hingga terluka. Naga Gini memfitnah Angling Darma dan mengadu pada Naga Pertala bahwa Angling Darma hendak membunuhnya. Beruntung, Angling Darma bisa meyakinkan Naga Pertala yang terjadi sebenarnya sembari menunjukkan bangkai Ular Tampar yang dipanahnya. Naga Pertala menyampaikan terima kasihnya dengan mengajarkan Aji Gineng, yaitu ilmu untuk menguasai bahasa binatang kepada Angling Darma, disertai pesan agar ilmu tersebut tak boleh diajarkan kepada siapapun. Kembali ke Kerajaan, Angling Darma sudah lupa dengan kutukan Batara Guru. Dia sudah rindu dengan istrinya. Saat keduanya sedang bercumbu, Angling Darma mendengar suara cicak jantan yang sedang merayu cicak betina, karena tergiur dengan apa yang sedang dilakukan Angling Darma dan istrinya. seketika Angling Darma marah dan hilang selera. Kali ini Dewi Setyowati kecewa besar. Dewi Setyowati bunuh diri dengan cara membakar dirinya. Demi menunjukkan cintanya, Angling Darma bersumpah tak akan menikah lagi. Sumpah Angling Darma terdengar oleh Dewi Uma dan Dewi Ratih. Masih dendam dengan Angling Darma, Dewi Uma mengajak Dewi Ratih untuk menguji sumpah Angling Darma. Keduanya merubah diri menjadi dua wanita cantik dan menggoda sang Prabu. Runtuhlah keteguhan sumpah Angling Darma, dia menanggapi godaan dua gadis cantik tersebut. Saat itulah kedua gadis merubah dirinya kembali menjadi dua Dewi Kahyangan. Dewi Uma menghukum Angling Darma agar mengembara meninggalkan istana. Diluar sana banyak godaan yang harus dihadapi Angling Darma untuk mempertebal imannya. Kerajaan untuk sementara diperintah oleh Batik Madrim. Dalam pengembaraannya, Angling Darma sampai di kediaman tiga gadis cantik yang bernama Widata, Widati dan Widaningsih. Ketiganya jatuh cinta pada Angling Darma hingga menahannya untuk pergi. Karena ingin menyelidiki tingkah aneh ketiga gadis tersebut yang sering keluar malam. Angling Darma bersedia tinggal. Pada malam harinya, saat ketiga gadis tersebut keluar rumah. Angling Darma merubah dirinya menjadi seekor Burung Gagak untuk mengikuti kemana ketiga gadis itu pergi. Rupanya, Widata, Widati dan Widaningsih adalah tiga putri siluman yang suka makan daging manusia. Angling Darma mengecam perbuatan ketiga putri siluman itu, namun lantaran masih shock dengan apa yang baru dilihatnya, Angling Darma justru kalah melawan ketiga putri siluman itu, yang lalu mengutuknya menjadi seekor burung belibis putih. Saat menjadi burung belibis, kepercayaan diri Angling Darma hampir terkikis habis. Secara, dia baru saja dikalahkan oleh wanita. Dia terbang hingga sampai ke Wilayah Kerajaan Bojonegoro. Dan dengan mudahnya dia ditangkap oleh seorang pemuda desa bernama Joko Geduk. Saat itu, Raja Bojonegoro yang bernama Darmawangsa sedang mengadakan sayembara, lantaran ada dua laki-laki kembar yang sedang rebutan istri yakni Bermani. Keduanya mengaku sebagai Bermana, suami dari Bermani. Barang siapa yang bisa mengungkap Bermana yang asli, dia akan mendapat hadiah besar. Burung Belibis yang mendengar sayembara tersebut, membujuk Jaka Geduk untuk mengikuti sayembara. Kaget mendapati burung belibis yang baru ditangkapnya bisa berbicara, Jaka Geduk meyakini bahwa burung tersebut jelmaan Dewa. Sehingga dia mempercayai perkataan burung belibis itu. Berdasar petunjuk dari Burung Belibis, Jaka Geduk membawa sebuah kendi. Salah satu Bermana yang bisa masuk ke dalam kendi tersebut, maka dia akan ditetapkan sebagai Bermana yang asli. Satu diantara dua yang mengaku Bermana dengan congkak menunjukkan kesaktiannya dengan masuk kedalam kendi. Jaka Geduk buru-buru menutup kendi tersebut. Belakangan diketahui, Bermana palsu yang masuk kendi adalah Jin yang bernama Wiratsangka. Jaka Geduk diberi jabatan sebagai Hakim Kerajaan. Pucuk dicinta ulampun tiba, putri raja Darmawangsa, yakni Dewi Ambarawati terpesona dengan keelokan badan burung belibis piaraan Jaka Geduk, sehingga burung belibis putih tersebut dimintanya dari Jaka Geduk untuk menghiasi kolam Kerajaan Bojonegoro. Lagi-lagi Angling Darma tergoda imannya. Pada malam hari, burung belibis berubah menjadi seorang pemuda tampan dan menggoda Dewi Ambarawati. Tak bertepuk sebelah tangan, Dewi Ambarawati meladeni godaan sang pemuda tampan yang tak lain adalah Prabu Angling Darma. Selang beberapa lama, Dewi Ambarawati pun mengandung. Gemparlah seluruh Kerajaan Bojonegoro, hakim Kerajaan pun tak mampu mengungkap siapa yang telah menghamili Dewi Ambarawati. Dia hanya curiga dengan belibis putih yang menurutnya adalah Dewa yang malih rupa. Raja Darmawangsa pun kembali mengadakan sayembara untuk mencari orang yang menghamili Dewi Ambarawati. Batik Madrim yang memang sedang mencari rajanya mencoba untuk mengikuti sayembara. Namun dia menyamar sebagai seorang Resi bernama Yogiswara. Resi Yogiswara langsung menyerang belibis putih yang ada di kolam istana. Pertarungan pun terjadi antara Resi Yogiwara melawan belibis putih. Beberapa saat setelah pertempuran berlangsung, belibis putih sempat berkata bahwa Resi Yogiswara agar lebih baik menyerah saja, karena tak mungkin sanggup melawan dirinya. Di lain pihak, Resi Yogiswara yang sebenarnya adalah Batik Madrim mengenali suara rajanya. Dia besimpuh menyembah belibis putih. Sambil berkata bahwa sesungguhnya dia adalah Batik Madrim, patih Kerajaan Malawapati yang sedang mencari Prabu Angling Darma, karena telah selesai masa hukumannya. Dengan kesaktiannya Resi Yogiswara mampu menghapuskan kutukan tiga putri siluman, Widata, Widati dan Widaningsih, sehingga belibis putih kembali menjadi wujud sebenarnya, yaitu Prabu Angling Darma. Akhirnya Prabu Angling Darma menikahi Dewi Ambarawati, namun dia tak mau tetap tinggal di Kerajaan Bojonegoro, karena memiliki kerajaan sendiri yang harus diurus. Angling Darma memboyong Dewi Ambarawati ke Kerajaan Malawapati. Dari perkawinannya dengan Dewi Ambarawati, Angling Darma memiliki putera yang diberi nama Angling Kusuma. Angling Kusuma inilah yang kelak menggantikan kakeknya yakni Raja Darmawangsa menjadi Raja di Kerajaan Bojonegoro. Yang perlu digarisbawahi sekarang, mungkin Kabupaten Bojonegoro meng-klaim sebagai pewaris Prabu Angling Darma karena ada nama Kerajaan Bojonegoro. Meskipun dari kisah di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa Prabu Angling Darma tak pernah menjadi penguasa di Bojonegoro, karena tahta Kerajaan Bojonegoro diteruskan oleh Angling Kusuma, anak dari Prabu Angling Darma. Sedangkan Kabupaten PATI juga meng-klaim Angling Darma sebagai daerah asal kisah tersebut, mungkin karena memiliki desa yang bernama MLAWAT, yang terletak di Kecamatan Sukolilo. Sehingga nama Kerajaan Malawapati identik dengan nama MLAWAT – PATI. Konon, di desa MLAWAT ini terdapat makam Prabu Angling Darma.